Sabtu, 14 Mei 2016

Thank You, Allah !

1.   Lewat  Abang

Pagi itu aku hanya bisa terdiam di depan kamar orangtuaku. Melihat mama yang dengan sabarnya merawat kedua kakakku yang sedang sakit. Sakiitt..ntah apalah nama penyakitnya. Kedua telinganya dipenuhi dengan Belatung yang bersayap. Sepintas mereka berterbangan seperti Laron yang baru keluar setelah hujan. Penuh. Dan menjijikkan. Inga, panggilan untuk kakak perempuanku. Ingaku tak separah yang abang alami. Ia masih bisa berbicara dan lebih terlihat baik ketimbang abang. Tapi tidak dengan abang. Bau busuk keluar dari tubuhnya. Menyengat. Aku heran, kenapa mama begitu tegarnya merawat kedua kakakku yang “sudah seperti itu”. Belatung bersayap yang memenuhi telinga, mulut, hidung abangku dan juga berterbangan disekitar badannya terlihat sangat aneh. Lebih aneh ketika aku melihat Belatung-belatung itu tak ada satupun yang mencoba mendekati mamaku. Mama wanita yang hebat.
Sorenya, Ingaku mengajak aku dan mama untuk membeli sesuatu ke Pasar. Dengan terpapah-papah mama membawa inga dan aku mengikutinya dari belakang. Ya Tuhan, begitu hebat Kau men-desain hati wanita ini. Sabar, tangguh, ikhlas Kau tanam pada jiwanya. Pada nuraninya.
Sepulang dari pasar, seorang Bapak menghampiri kami dan berkata “Abang sudah pergi”. Seketika aku menjerit dan ingaku menangis dalam pelukan mama. Mamaku terdiam. Aku berlari menuju pemakaman dan aku melihat abang terbaring lemah diatas makamnya. Melihat dagingnya meleleh, putih, masak. Aku ingin menjerit Ya Allah ! Kupeluk tubuhnya dalam limangan darah yang mengalir dari daging-dagingnya yang sudah mulai masak. Memutih. Layaknya daging ikan yang baru habis digoreng. Abang menjerit. “Adis ini sakit !”. Aku menangis sejadi jadinya. “Adis tolong Abang ! Adis selesaikan hafalannya ! tolong Abang !” menjerit, sambil memegang bahuku lalu menggoyang-goyangkannya dan menatapku dengan binar matanya yang sudah “hangus”. Merah padam, bak api kompor tahun 90an.
“Demi Allah ! aku harus Hafidzah !” kecamku pada diri ini. Menangisku sejadi-jadinya. Terus menangis....hingga aku tersadar dan menemukan badanku ada diatas tempat tidur masih dengan seragam sekolah yang komplit terkecuali sepasang sepatu. Kulihat jam, ternyata sudah jam 2 malam. Astaghfirullah, eh alhamdulillah ini hanya mimpi. Seragamku sudah basah dengan air mata. Ternyata sedihku berlanjut ke dunia nyata. Duduk diam sendirian di dalam kamar, aku menangis, lagi. Perlahan jariku menggeser-geser layar HP mencari nomor Abang. Jam 2 malam, Aku menelfonnya. Tak ada jawaban. Tentu saja, waktunya istirahat.
Beberapa bulan belakangan ini, sungguh, bimbang akan pilihan antara melanjutkan ke perkuliahan atau mengabdi kembali untuk menghafal Qur’an di Pesantren kerap kali menghantuiku. Di satu sisi aku tak merasa rugi jika memilih untuk menghafal, karna Allah memberikanku kelas Aksel saat SMA. Toh, masih ada satu tahun lagi jika ingin “menunggu” teman yang lain yang masih di kelas tiga. Tapi di sisi lain, terbesit keinginan untuk kuliah, ingin seperti teman-teman seperjuangan di Aksel yang sudah menggemgam beberapa Universitas di tangannya.
Harusnya dari dulu aku sadar, bahwa satu tahun “sisa” masa SMAku itu, Allah beri lagi kesempatanku untuk menghafal. Karna yakin, Aksel yang kujalani selama dua tahun itu adalah hadiah dari Allah, seperti yang pernah kutulis pada blog ini sebelumnya  “Jadi Jangan Suudzon Dulu Yaa..”
Karna suatu hal yang membuatku menghentikan kegiatan menghafalku dulu saat SMP di Pesantren, lagi-lagi aku harus mengakuinya, ini adalah cara Allah mengatur sedemikian indah perjalanan hidup hambaNya. Lewat Abang, lewat mimpi itu, lewat teriakan-teriakan yang terlintas pada mimpi itu, dan beberapa kejadian sebelumnya atau sesudahnya yang baru sekarang aku menyadari bahwa itu adalah tanda yang Allah kirim agar aku kembali menghafal.
Kira-kira seminggu setelah mimpi menyapa tidurku, kuberanikan diri berkata pada mama “Adis belum mau kuliah, mau ngelanjutin hafalan dulu, Ma. Boleh?” dan mama menjawab dengan melirikku sambil terus fokus mengendarai mobil, “emang bisa?”. Kulihat mama dari kursi penumpang tepat sebelah kiri sang supir dan, “InshaaAllah Ma” jawabku, (sepertinya) dengan yakin.
Lewat Abang, Allah sisipkan pesan tegasNya untukku.




2.  Ah GBK...
 “Bisa dateng gak Met? Dateng ya dateeng. Ada imam dari Makkah loh Met”
suara dari ujung telpon itu membuatku berani memohon izin pada mama. Datang dalam acara yang paling ditunggu tunggu penghafal Qur’an, “Wisuda Akbar Indonesia”. Seperti biasa, ketika melontorkan perizinin, awalnya diserbu pertanyaan yang dikit demi sedikit terdengar seperti larangan. Tapi kemabali lagi, mana ada orang tua yang tahan dengan rayuan maut putrinya. Sebelum merayu tak henti-henti shalawat berlantun di bibir ini. Ya gitu, kalo mau sesuatu biasanya kulicinkan rencanaku dengan shalawat, manjur dah.
            Akhirnya di acc pergi. Alhamdulillah.
            Pijakanku terhenti sejenak, melihat bangunan besar itu berdiri kokoh melingkari lapangan hijau nan luas. Ramai. Bus-bus besar dari berbagai kota berbaris parkir mengantar ribuan penghafal Qur’an hari itu. Lirikku tak habis ke kanan dan ke kiri, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, berjalan kesana kemari mendekap kumpulan firman Yang Maha Suci. Firman yang suci, dalam kitab yang suci pula. Tak ketinggalan mereka yang mencari nafkah untuk keluarga tercinta, berteret membuka payung-payung besar di sepanjang jalan. Menawarkan minum, tisu, juga cemilan-cemilan ringan pada setiap orang yang melalui payungnya. Ah tak ada salahnya aku duduk sebentar menunggu yang ditungggu datang sambil meneguk beberapa tetes air dingin di siang yang begitu menyengat kulit. Biasalah Jakarta. Padahal Bengkulu juga panas. Gaya emang.
Berhenti pandanganku pada gadis berkerudung merah jambu, berlari dari kejauhan, dan Handphoneku bergetar. “Met udah dimana ?”katanya dari seberang telfon sana. “ini aku dibelakang dirimu” sahutku. Aku sudah menduga, gadis berkerudung merah jambu itu mencariku. “Aku ga ada tiket masuk loh” cemasku. “Gampanglah, bisa seludupan” katanya. Dan benar saja, hari itu aku duduk manis di sektor 24. Haduh ketahuan juga seludupannya. Jangan ditiru lah ya. Ah GBK, kau punya seribu cerita.
            Menikamti acara para pengahafal Qur’an. Hingga tak sadarku hari mulai kelam. Sedang rinduku masih terang benderang. Meski acara terus berlanjut hingga larut, tapi mereka akan segera pulang. Aku harus menemui ustadnya.
            “Ustad, ini ada titipan Mama, semoga suka”. Jam dinding yang terukir gambar bunga Rafflesia Arnoldi itu menjadi saksi pembicaraanku dan Ustad malam itu. Ditengah rombongan dari Daarul Qur’an Bandung, almamater SMPku dulu, aku dan Ustad larut dalam pembicaraan tentang “menghafal”.
            “Saat kita mendahulukan Allah, maka Allah pasti mendahulukan kita juga. Pilihlah Allah, agar Allah pun memilih kita. Kejarlah cinta Allah, kejarlah ridha Allah, agar Allah senantiasa menjaga kita. Sebenernya pilihan setelah lulus sekolah ini ada ditangan Metti. Saya hanya bisa memberikan saran.” Bijaknya Ustad tak pernah kuragukan. Ustad Ustadzahku, inginku sisipkan ucapan terimakasih pada tulisanku ini. Yang aku tahu, tak akan selesai kutuliskan mesti kuku-kuku jemariku mulai meleleh. Sungguh mentari yang menghangatkan tapi tak membakar. Menerangkan tapi tak sampai membutakan. Melecut semangatku untuk setia bersama Al-Qur’an.
“Mumpung masih ada satu tahun lagi, terus sholat tahajud juga istikharah minta petunjuk Allah. Karna dari saya pribadi menyarankan Metti agar menghafal lagi.”
“apa Ustad yakin aku bisa?”
“Apa yang tidak bisa ketika Allah sudah berkehendak ?”
Lagi-lagi Ustad berhasil membuat aku kicep.
            Semua sudah ditempatnya masing-masing. Mereka sudah sampai di Bandung dari malam itu juga, dan aku sudah di kelasku lagi. Setelah izin dua hari, aku harus menyusul beberapa bab mata pelajaran yang sudah tertinggal. Perlahan kepalaku mulai berdenyut saat dalam satu hari ternyata aku harus memahami rumus-rumus gerak relatifitas, sistem  imun, integral-integral yang indah.
Oh Tuhan, aku selalu berharap agar cahayaMu menyusup relung terdalam hati yang Kau ciptakan pada jiwaku. Ditengah ramai kelasku ini, acapku rasa sendiri. Bukan karna mereka acuh padaku, tapi mungkin aku yang acuh padaMu.
3.   Malam Berkhayal
Hari ini aku  menerima hasil kelulusan sekolah. Tepat dihari ulang tahunku yang ke 17. Kata memanglah representasi perasaan. Hari ini mungkin akan ada banyak kata terlontar dari mulut yang mengungkap isi hati. Biasalah anak muda, biasanya nyari tanggal cantik buat jadian. Hhe. 15/05/2015. Lima belas Mei dua ribu limabelas. Ah pikiranku loncat pada dua tahun yang lalu.
2013, di tangga Gazebo Putri.  
“ 2 tahun lagi aku bakal sweet seventeen Bun. Aku pengeen di 17 tahun aku ntar, selesai hafalan. Setelah itu berangkat umroh deh. Tanggal bagus loh Bun waktu aku 17 tahun ntar. Limabelas, lima, limabelas. Bagus ya Bun ? biasanya orang make tanggal bagus buat jadian, aku mah mau khatam Qur’an aja deh Bun, hehe. Juga ya Bun, umur 17 itu biasanya pada bikin big party gitu Bun acara ulang tahunnya, sweet seventeen cenah. Aku sih pengennya tasyakuran khatam Qur’an aja. Gimana Bun? Biar aku yang ngasih kado ke orang tua pas ulang tahun. Kan anti mainstream Bun ya ? aku juga belum pernah keluar negri Bun, pengen kalo tasyakuran hafalan sama ulang tahunnya nanti di Mekah.
Oh iya, atau nanti juga buat acara khataman gitu pas ulang tahun. Nanti kita sewa ball room hotel trus ntar kita buat ruangannya di bagi jadi beberapa bagian. Nanti ada khusus Ustadz Ustadzah dari sini, terus bagian yang lain ada yg khusus buat temen-temen sekolah aku, bagian yang lainnya juga khusus buat keluarga. Nanti kita undang semacem orang-orang training yang bisa ngasih motivasi sukses dunia akhirat gitu Bun? Gimana Bun, keren gak ? itu semua diadainnya di Bengkulu Bun, biar Bunda-bunda sama Ustad-ustad disini juga bisa liat Bengkulu.”
Purnama malam itu menemani hangatnya perbincanganku dengan Ustadzah yang biasa kusapa, Bunda. Ah manusia, hanya bisa merencanakan. Kembali lagi, Allah lah yang mengatur segala urusan. Bunda begitu antusiasnya mendengar mimpi-mimpiku yang lebih mmm...seperti khayalan. Hingga hampir menetes air kebahagiaan dari mataku membayangkan semuanya hari itu. Betapa tidak, mimpiku terlalu tinggi. Tapi selagi Allah yang menjadi Tuhan, aku terus menggantukankan harapan itu padaNya.
Hingga, suatu hari, yakni hari ini, aku kecewa. Kecewa pada khayalku dulu. Kecewa pada tingginya hal yang kugantungkan. Kecewa tak ada satupun dari beberapa rencanaku yang terlaksanakan. Tak khatam juga umroh. Umroh, ntah dari kapan aku sudah memimpikannnya, menyebut-nyebut selalu di sela do’a. Bolehkah aku kesal Tuhan ? tapi aku terlalu kerdil untuk menyampaikan kekesalanku pada hal bodoh yang pernah terlintas dikepala ini. Berkhayal terlalu tinggi.
Seperti ditampar. Aku hari ini harus sadar. Life must go on. Syukuri apa yang udah Allah kasih. Meski aku meminta khatam dan umroh tak kesampean. Tapi setidaknya surat tanda bahwa aku lulus SMA sudah di tangan. Oh iya jangan lupa, Allah tak luput mengganti Mekah dengan tiket lain, Japan.
“Tapi aku maunya khatam sama umroh ya Allah”
“Met, Bersyukur ! “ Allah.
4.   “Met, Bersyukur !” Allah.
“Emang bisa?”
Kulihat mama dari kursi penumpang tepat sebelah kiri sang supir dan,
 “InshaaAllah Ma” jawabku, (sepertinya) dengan yakin.
Pertanyaan mama dalam dua kata itu membuatku seperti tertampar. Aku bersyukur Allah kirimkan serpihan surganya seorang wanita tangguh untuk merawatku seperti mama.  Mamaku tak begitu keras, tapi bisa menjadi sangat tegas. Juga tak begitu lembut, tapi bisa sangat peduli. Tak  jarang aku dimanja mama, pipiku dicium, daguku digigit, buayannya yang selalu mengatakan akulah anak gadisnya yang tercantik di dunia, padahal aku tau saat itu seperti apa badanku. Hitam, kecil, gigi ompong, keriting. Namun mama berani melepas anak-anaknya merantau jauh.
            Perlahan aku kembali pada prinsipku untuk selalu berhusnudzon kepada Allah. Ini membantu. Percayalah. Memperbaiki cara berfikirmu dan takdir hidup yang sedang kujalani. Selalu timbul dalam kepalaku, mengapa Allah memberiku Japan ? mengapa kelulusan harus tepat dihari ulang tahunku, padahal jauh hari sebelum itu diumumkan bahwa pengumuman kelulusan akan berlangsung 17 Mei 2015. Allah menggerakkannya. Pasti Allah. Mempercepat pengumumannya menjadi limabelas, lima, limabelas.
            Pikirku tak begitu panjang. Apalah aku, seorang remaja yang sedang mencoba mencari siapa sebenernya aku, hanya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyerbu kepala ini denga jawaban klise. Kenapa kelulusan harus di limabelas lima limabelas? Yang sebenernya aku inginkan adalah hari itu aku khatam Qur’an. Hatiku menjawab, bagaimana bisa aku khatam sedang aku tidak menghafal ? sehari hari aku disibukkan dengan kerumunan soal yang entah bagaimana sambil mengerjakannya aku selalu terbayang kata-kata guru “besok dikumpulin”. Tak kupikirkan jam berapa, berapa lama aku harus tidur, makan, istirahat, terserahlah yang penting tugasku selesai. Entah berapa bungkus kopi yang sudah menemaniku setiap malam. Jadi inilah yang Allah beri atas segala yang telah kulakukan, Lulus. Alhamdulillah.
            Kenapa Japan? Mungkin rohaniku belum siap untuk berkunjung ke baitullah. “Momentnya kurang tepat. Kan kamu pas SMA yang dikejar kegigihan dalam memperjuangkan ‘nilai’. Nah Aku kirimkan ke Japan agar kau senantiasa belajar dari orang-orang Japan ini bagaimana mereka menghargai waktu, menghargai pekerjaannya, juga cara dalam memanusiakan manusia” gitu kali ya kurang lebih pesan Allah ke diri ini.
            Ah Allah, berkali-kali Kau buat aku jatuh cinta padaMu. Seandainya aku tahu apa yang Kau rencanakan untuk hidupku sebelum aku berkeras pada rencanaku sendiri, mungkin suburlah bulu mataku terbasahi airnya.
            Syukurku yang tak terhingga. Ucapan terimakasih ingin ku lontar pada setiap insan yang Allah kirimkan untuk membantu aku menghafal kembali. Nnamun apalah dayaku yang saat ini dikejar waktu, deadline yang aku buat sendiri. Mungkin suatu saat blog ini akan menggoreskan nama-nama mereka yang sungguh-sungguh ikhlas membantu. Allahlah yang akan membalas semua kebaikan Ibu, Bapak, Ustad, Ustadzah, Kakak, Adik semua.
 Satu tahun setelah aku lulus, aku memilih mendekatkann diri pada Allah, lebih dekat, lewat surat cintaNya pada setiap hamba. Aku menghafal kembali. Satu tahun.
Ya Allah, betapa rinduku membuncah padaMu. Hari itu, Kau buktikan padaku kuasaMu. Kamis, 5 Mei 2016M, 27 Rajab 1437H sesekali bibir ini terbata karna air mata yang memaksa menetes di depan Bunda Jannah dan Mama juga kelompok tahfidzku yang menyaksikan diri yang bukan apa apa ini menyelesaikan surat At-Tahrim. Surat terakhir hafalanku.
“wamaryamabnata ‘imroonallati ahshonat farjahaa fanafakhnaa fiihii mirruuhina wasoddaqot bikalimaati robbihaa wakutubihii wakaanat minal qoonitiin”
Dan para pembaca yang Allah muliakan. Maafkan tak banyak kisah yang bisa kubagiakan saat ini. Terlalu memakan waktu untuk menulisnya, sedang saat ini waktu telah mengejarku untuk bersiap-siap berangkat Umroh nanti malam. Mohon doa agar Allah beri keselamatan pergi hingga pulang.
15 Mei 2016. 1 tahun Allah pending permintaanku. Bukan tidak dikabulkan, namun Allah tau waktu terbaik yang telah Ia tentukan.
Berdoalah ! jangan takut berkhayal dan bermimpi setinggi langit, selagi Allah tempat kita bergantung. Allah yang menyuruh berdoa.  Dan 3 jawaban dari Allah untuk doamu.
“Iya”
“Kita tunggu waktu terbaik”
“akan Kugantikan dengan yang lebih baik dari apa yang kau pinta”

Sabtu, 10 Oktober 2015

Kado Allah


"Kepergian dalam ingatan"

Tersebut sebuah kisah 
Seutas masa lintasan sejarah
Secarik rindu mengenang sekolah
Menerawang, menela'ah kata 'pisah'

Tersebutlah rindu dalam kalbu
Seutas kata, aku ingin mengadu
Secarik perjuangan yang telah berlalu
Menerawang, membayang teka-teki dalam tiga hari
Ah, aku pikir ini terlalu lugu

Tersebutlah malaikat kecil
Seutas cahaya menghalau langkah
Secarik api membara, bangkitkan kembali! 
Lalu memulai dengan berani
Menerawang, bertanya tentang kesempatan menang
Dan menantang zaman dalam butir rahasia,
masa depan

Kita tetap melaju
Pada mimipi yang melambai indah
Walau sudah beda langkah
Walau sudah beda arah
Berjanjilah! Kenang pelangi yang kita pahat bersama
Dengan megah

Kepada sekolah
Kepada gedung ini
Kutitipkan bingkaian mimpi,

Aku pergi...

Jum'at, 15 Mei 2015
Metti Herliani Putri


Dichtung

Gebet”
Durch meine Herz
Ich möchte über Sie berichten
Raise entlang nach Himmel
Für Sie, ohne vermitter, ich berichten, immer berichten über Sie,
Gott..

Minggu, 30 Maret 2014

Liarnya Khayalan (y)

Aku Ingin Hidup
            Haah…  hari ini aku memulai hidup baru di dalam sebuah ruangan kecil seperti bola, gelap, sunyi, tapi kenyamanannya bak Surga Firdaus, Wuih..
Kata periku dulu, tempat ini namanya rahim. Entah apa itu rahim, aku juga sulit memahaminya. Tapi disini begitu damai. Aku berenang-renang dengan puasku, berteman dengan bantal empuk, makan tanpa harus menyuap, berjalan tak harus melangkah. Meski ruangan kecil (seperti bola) ini gelap, tapi ketenangan batin yang kurasa tak kunjung padam. Ini indah! Ini hebat! Ya! Ya! Ini begitu hebat! Aku sukaa!
            Semakin hari aku terus berkembang. Tanganku terbentuk, kakiku sudah bisa bergoyang, menendang-nendang, aku merasa akan hidup! Terkadang aku mendengar percakapan orang-orang di luar ruangan ini, menyebut indahnya dunia. Aku penasaran, apa itu dunia? Bagaimana indahnya? Disini saja aku sudah merasa indah sekali…… apakah lebih indah?
            Ibu. Panggilan itu yang sangat aku kenal. Periku dulu yang mengenalkannya padaku. Sosok pengganti malaikat-malaikat, begitu katanya. Hemm… Begitu cintanya aku pada wanita ini. Tak sabar rasanya aku ingin melihat wajah ibu. Pasti ibuku sangat cantik! ;)
            Walaupun indah, tapi lama kelamaan aku bosan di dalam sini, aku selalu dibuat penasaran dengan namanya dunia. Kabar gembira yang aku tahu, bahwa tidak lama lagi aku akan melihatnya. Melihat dunia dan melihat ibu yang kucinta.
            Oh iya, periku juga pernah bercerita tentang ayah. “Beliau adalah pria yang sangat mencintai kamu”, begitu kata ibu peri. Aaah…. aku tambah tidak sabar untuk keluar dari ruangan ini dan melihat semuanya. Semua yang dikatakan periku dulu.
            Hey coba dengar, seseorang di luar sana sedang berteriak..
“ Gugurkan anak itu! Itu bukan anakku! Dia anak haram!”
“Tapi kamu harus menerima kenyataan, bahwa ini anakmu! Kau harus bertanggung jawab!”
“ Tidak bisa begitu! Kau ini seorang pelacur! Belum tentu ini anakku! Banyak laki-laki yang sudah menodaimu! Bukan aku saja!”
“ Sialan kauu!!!!” *Plak!*
“Kurang ajar, beraninya kau menamparku!” .......
            Hey itu apa? Siapa yang anak haram? Apa itu anak haram? Apakah itu aku? Apakah yang berbicara itu ibuku? Atau ayahku? Apa cintaku bertepuk sebelah tangan? Apa hanya aku yang mencintai Ayah dan Ibu? Apa mereka berharap akan kehadiranku? Ahh sepertinya bukan pertanyaan bermutu untuk dilanjutkan. Mereka pasti sangat-sangat mencintai aku.
***
            Hay Tuhan, hari ini aku kembali lagi ke SurgaMu, Ibu dan Ayah tidak mengizinkan aku melihat dunia, mungkin karena dunia terlalu kejam. Tetapi kenapa dulu mereka suka bilang dunia indah ya? Ah orang di dunia memang suka munafik. Lihat saja aku, aku ini baru calon penghuni dunia lho, tapi aku sudah belajar munafik. Tuhan, sejujurnya aku ingin hidup! Tapi aku me-munafikkan diri di hadapanMu dalam doa’aku:
            “Bila memang hidupku membawa kesusahan bagi ayah dan ibu, maka panggillah aku.”

            Terimakasih Tuhan, caramu memang sempurna. Akhirnya ibu menusakkan pisau ke perutnya, sehingga aku dan ibu berkumpul di sisiMu, dalam surga.

Jumat, 06 Desember 2013


“Hal pertama yang selalu membuatku semangat saat berangkat sekolah ialah teman sebangkuku”.

Hai teman, sekarang aku bicara tentangmu, meskipun engkau sudah pergi dari kami. Pendeskripsian akan dirimu mungkinlah berbeda dari versiku dan versi teman SMPmu. Karna kita hanya 1 SD dan tak bersatu saat SMP. Aku mulai mengenalmu, dimulai sejak saat itu kau menjadi teman sebangku-ku kelas 2 di bangku Sekolah Dasar. Sekarang harusnya kita sama-sama merasakan masa-masa SMA.

Surat kecil yang tak berarti ini mungkin dapat meleburkan kerinduanku akan dirimu disana. Aku begitu merindukanmu taman, entah bagaimana harusku gambarkannya.

3 tahun aku di negri orang, terpisah dari kalian, dari ledek canda jenakamu, dari tingkah anehmu, dari segala hal yg kau lakukan dan kurasa lucu, dari semua cetusanmu, dan dari senyummu. Ntahlah, malam ini aku begitu rindu akan dirimu, maka blog-kulah yang menjadi sasarannya. Aku ingin dunia tahu, bahwa kau bahagia disana, agar mereka selalu mendoakanmu abadi dalam kebahagian itu.

Begitu inginnya aku menemui jasadmu pagi itu, aku ingin lari pergi kerumahmu Dan keinginan itu, lebur bersama derai air mata dalam ujian sekolahku., jarak dan waktu tak mengizinkanku mengantarmu kembali ke “rumah”mu. Teman ketahuilah bahwa jauh sebelum hari itu aku ingin mengatakan bahwa kau harus sembuh dari penyakitmu, jangan tinggalkan kami! Kau harus bertahan demi kami! Kita harus bertemu setelah 3 tahun lalu

Haruskah ini terucap disamping batu nisanmu kawan?
Abil Tegar Prasetyo {}



Kamis, 14 November 2013

nge-Fiksi yuk! ;)

~Cinta Datang Terlambat~
Sendirian di dalam kelas itu memang membosankan, tapi tidak jika sudah menjadi kebiasaan. “Alah bisa karena biasa” gitu sih kata pepatah. Selesai nonton bareng satu sekolah ternyata lelah juga, bukan lelah karena nontonnya, tapi lelah karena asyiknya ngumpul bareng teman. Mungkin itu sebabnya aku sendirian di dalam kelas ini, semua sudah kelelahan dan beristirahat di dalam kamar masing-masing. Kebetulan kami ini anak asrama, anak Boarding School tepatnya.
Aku? Haha terkadang memang ada masanya ketika seseorang menginginkan kesendirian. Untuk saat ini, aku ingin menyendiri terlebih dahulu, mengingat kasus yang sedang berusaha aku selesaikan. Aku menyukai teman sebayaku sendiri! Menurutku ini kasus. Kasus yang harus segera diselesaikan. Soalnya, selalau mengganggu ketenangan pribadiku. Melihatnya, suaranya, dan panggilan khasnya kepadaku itu sering membuat cabang pikiranku bertambah, ya, memikirkannya.
Baru saja berniat untuk menyelesaikannya, tiba-tiba di pintu kelasku berdiri seorang laki-laki yang mempunyai panggilan khas kepadaku itu, “ Dis, bisa bicara sebentar? “. Ya, dia memanggilku “Didis”. Sebenernya itu panggilan khusus untuk keluargaku saja, menurutku itu adalah panggilan sayang, soalnya dari nama asliku saja tak tersenggol sedikitpun kata “Didis” tersebut. “Mahelik Putri” itu namaku, dan teman-temanku yang lain biasa menyapaku dengan “Elik”, dan menurut lelaki itu  “Didis itu panggilan sayang, yang sayang berarti memanggilmu Didis.” Entah apalah maksudnya.
“ Sok, silahkan masuk aja, masa nangkring di pintu gitu?” jawabku santai, tapi jujur jantungku makin lama makin kencang degupnya. Dan bodohnya aku sangat terlihat terbata-bata saat menjawab setiap pertanyaannya. Sebenernya tak banyak yang dibicarakan, ia hanya bertanya “Seandainya aku ingin menjagamu tapi tidak menjadi pacarmu, kau bisa terima?” dengan nada datarnya, pertanyaan itu melontar seperti tak bersalah. “Apa aku punya alasan yang akurat untuk menolak? Tawaran bagus, lalu apa statusmu bagiku?” jawabku. “Kau bisa panggil aku Kadan, aku mau menjagamu seperti aku menjaga adikku sendiri.” Jawab Muhammad Dani.
Sebenarnya aku kecewa, tapi yasudahlah. Akhirnya aku mengikuti akadnya saja, menjadi adik mungkin itu lebih baik. Sekedar adik, tak akan lebih, dan jangan pernah kepedean jika diperlakukan lebih, karena aku hanya adik, hanya adik.
Benar ternyata, aku merasa seperti ada kakak, bukan pacar atau teman istimewa, dia begitu memerankan apa yang ia katakan. Mungkin sebelumnya dia sudah tahu apa yang aku rasakan, dan untuk menutupi rasaku itu mungkin saja dia berinisiatif bertindak sebelum aku yang menjauh. Kalau orang “cinta ditolak, dukun bertindak”, tapi untukku “kau tak peka, maka kita berbeda”, berbeda berarti tak sama, sudah tahu tak sama ngapain harus bersama? Nah satu hal lagi yang aku suka dari Dani, eh maksudku Kadan adalah dia selalu peka dengan gerak-gerikku.
                                                                  ***
Sudah hampir satu tahun kakak-adik ini berjalan. Akupun tak pernah menempatkan diri sebagai hal istimewa dihadapannya, tingkahku seperti biasa, bahkan beberapa aibku sudah diketahuinya. Contoh, di hari libur terkadang aku mengharamkan air untuk mandi haha, malas sekali rasanya. Seingatku kami memulai semuanya itu bulan Juli tahun 1996, sekarang sudah Juni 1997. Sekarang Juni? Okedeh, itu tandanya ulang tahun dan perpisahan serta kelulusan sekolahpun tinggal menghitung hari. Terhitung dari sekarang, ulang tahunku 10 hari lagi, dan perpisahan sekolah 15 hari lagi.
Dari dua bulan yang lalu, teman-temanku yang lain selalu mengejek-ejek aku dan Kadan, meski terkadang aku ataupun Kadan memang sering salah tingkah saat di cie-ciekan. Tapi kami anggap itu semua hanya humor saja, toh aku juga tak yakin Kadan menyukaiku lebih dari adik.
Tiba-tiba saja sms Kadan muncul di layar HP-ku, “darimana Kadan bisa sms? Bukannya HP dikumpulin di Boarding?” tanyaku dalam hati dan langsung ku ketik di HP lalu dikirim ke Kadan. Oh, ternyata Kadan pulang ke pulaunya, Sulawesi. Disini, di kota Parahyangan yang ramai ini, aku merasa menjadi sepi sekali. UAS sudah, Ujian Praktik sudah, UN-pun juga sudah, jadi untuk apalagi diam di Boarding ini? Mending pulangkan?. Tindakan Kadan emang tepat. Tapi ntah kenapa aku malas sekali pulang, rumahku jauh soalnya, di daerah Cicaheum haha, sebenernya hanya se-jengkal sih dari Boarding.
“Dis, sepertinya saya sudah tidak bisa lagi jadi kakak kamu deh..” tiba-tiba aku terdiam oleh sms Kadan .
“ Kenapa kak? Gara-gara kita bakalan jauh ya nantinya? “ Tanyaku.
“ Mungkin itu faktor lainnya..” jawab Kadan
“ Jadi faktor utamanya apa? Kadan udah punya pacar ya? Jadi takut sama pacarnya?”
“ Tidak.. tidak.. tidak sama sekali. Aku saat ini sedang tidak menyukai siapa-siapa! Tenang sajaa..”
Aku bingung, kenapa Kadan begitu histerisnya saat ku ungkit masalah pacar.
“ Lalu apa alasan utamanya, Kadan?” tanyaku lagi.
“ Kau pernah dengar tentang perkataan teman kelas kita beberapa bulan yang lalu? Aku harap kau paham maksudku ini. Aku tak ingin lagi menjadi kakakmu, karna aku menyayangimu lebih dari sekedar adik. Sebentar lagi HP-mu akan dikumpulkan, waktu penggunaan HP akan segera habis. Segeralah jawab! Menurutmu, apakah pantas aku berbicara seperti ini? Apa sama yang kita rasakan sekarang?”. Tak tahu harus berkata apa, tapi yang pasti aku harus jujur.
“Makasih Kadan buat semua pengakuannya, tapi jujur untuk H-15 perpisahan kita ini, sampai sekarang aku masih menganggapmu seperti kakakku” jawabku sekaligus menutup smsan kami pada sore itu, soalnya Ibu Boarding sudah teriak-teriak agar HP segera dikumpulkan kembali kepada Boarding.
Hari-hari terus berjalan. Hingga H-7 kelulusan, kuputuskan untuk pulang saja, bosan juga ternyata. Anehnya, selama diperjalanan pulang itu, smsan aku dan Kadan yang terakhir kemarin berulang kali kubaca. “Aku rindu kak” tiba-tiba saja hatiku bicara. Nah, mulai dari sanalah aku merasa ada yang berbeda dengan  diriku ini.
H-5 kelulusan. Itu artinya hari ini adalah hari ulang tahunku. Sedikit beraninya ku balas sms Kadan dengan pertanyaan semacam ini, “ Kak, aku mau ngungkit pembicaraan kita 10 hari yang lalu. Seandainya hari ini, di hari ulang tahunku ini, aku putuskan bahwa kita punya rasa yang sama, bagaimana kak? Apa ini telat bagiku?” haduuh.. jariku gemetaran. “Tak ada kata terlambat, meski 5 hari lagi kita akan terpisah. Kau akan melanjutkan sekolahmu di Bandung itu dan aku harus kembali ke Sulawesi..” jawab Kadan. Meski aku tahu, ini sangat terlambat.
                                                                      ***
Kabar kepulangan Kadan sudah sampai ke telingaku. Kadan baru sampai tadi malam. Aku sudah 2 hari di Boarding. kembali lagi untuk mempersiapkan diri atas hari esok yang dinanti-nanti. Kelulusan lalu perpisahan.
Ini adalah hari H-nya. Ijazah dan semua berkasku sudah ada ditangan. Semua koper dan tas jinjingku sudah siap, tinggal diangkut lalu dimasukkan mobil dan berangkat. Tapi sebelum semua itu terjadi, aku harus menemui Kadan terlebih dahulu, harus! Sedih rasanya harus mengetahui bahwa Kadan harus kembali ke Sulawesi. Mungkin hari ini adalah hari terakhir untukku dan Kadan bertemu, entah kapan lagi bisa seperti dulu.
“Kadaaannn…!!”  aku berlari dan kakiku terhenti di jarak sekitar satu meter di hadapan Kadan.
“ Didis, ini buatmu, di jaga baik-baik. Maafkan Kadan hanya bisa berikan ini. Didis jaga diri juga jaga hati.” Sambil mengulurkan tangannya yang berisi peci. Kadan menyerahkan peci kesayangannya kepadaku, meski sedikit lusuh, tapi inilah Kadan, terkenal dengan pecinya yang rutin dipakai kemana-mana. Dia lelaki yang shaleh, menurutku dan menurut semua orang di Boarding. Air mataku tak terbendung, mengalir terus. Tapi tak ku beranikan untuk memamerkan padanya.
            Tak lama barulah kuangkat kepalaku untuk melihat orang yang kusayangi pergi masuk ke mobil hitam itu. Ia  pergi bersama semua bayang serta lambaian tangannya.  Yang tertinggal hanya semua kenanganku bersamanya.
            “Kadan… tak akan ada yang menggantikanmu, aku menjamin itu” Mahelik Putri.
 Sesampainya di rumah, aku mencoba memakai peci Kadan. Tiba-tiba saja secarik kertas terjatuh dari dalam peci tersebut. “ Kepada adikku, Mahelik Putri. Aku ada dalam prasangkamu, jangan takut. Jangan khawatir bila jarak memisahkan kita. Dan dengan surat ini, aku memutuskan untuk menghentikan komunikasi kita, sampai takdir Tuhan mempertemukan kita kembali, dalam kesuksesan masing-masing tentunya. Mahelik Putri, aku mohon, jaga hatimu dan jangan terlalu meikirkanku.” Lewat suratnya, Kadan membuat air mata ini tambah tidak terbendung. Aku ingin penjelasan Kadan! Apa maksudnya menghentikan komunikasi? Aku harus menghubungi Kadan! Harus.
“kosong lapan lima tujuh dua puluh tujuh empat tiga tujuh dua lima” ucapku sambil memencet tombol handphone.
Dari ujung sana, aku mendapat jawaban “Maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan..” 

Selasa, 27 Agustus 2013

Jadi, jangan Suudzon Dulu Yaaa ;)

Terkadang ketika hal yang kita minta kepada Allah tidak dikabulkan, seringkali kita merasa bahwa Allah sudah tidak peduli lagi terhadap diri ini. Memang sulit dipungkiri, rasa kecewa itu pasti ada, meski dengan sangat hati-hati kita telah menutupinya. Tidak sedikit orang yang berputus asa, ketika segala cara (ikhtiar) telah mereka lakukan, lalu mereka bertawakkal, tapi hasil yang didapat jauh dari target yang telah ditetapkan. But, there is one thing you must belive that Janji Allah Itu Pasti Ada. "Belum tentu hal yang baik menurutmu adalah baik untukmu, tetapi belum tentu juga hal yang buruk menurutmu adalah buruk bagimu" kurang lebih ini adalah terjemahan dari sepenggal ayat Al-Qur'an, surat cinta Allah kepada hambaNya.
Sebenernya apa yang mau saya bicarakan sekarang adalah pengalaman kekecewaan saya terhadap Dia. ini FAKTA! Sebelum UN SMP bulan april lalu, saya selalu bangun untuk menangis didalam tahajjud agar Allah memberikan nem di atas 36,00 kepada saya. Maksud saya, agar rata-rata nilainya bisa 9komasekian. Setiap malam selalu saya kerjakan! tidak ketinggalan semangatnya saya mondar-mandir kantor untuk melihat nilai yang kalau-kalau ada yang harus diperbaiki. Saya tahu bahwa SMA nanti, saya sudah pasti masuk ke Negri, jadi yaaa nem sangat diperlukan dalam proses ini, agar saya dapat meraih SMA terbaik yang ada di Bengkulu (oiya, SMA ini saya disuruh orang tua pulang ke Bengkulu, ceritanya balik kampung halaman -_-). 
UN selesai, tinggal menunggu hasilnya. Saat itu, begitu optimisnya saya bahwa Allah akan memberikan nilai terbaik yang sudah saya diskusikan selama tahajjud kepadaNya. Al hasil, saya hanya bisa tersenyum dan tetap ber-Alhamdulillah meski nilai yang saya terima dibawah itu semua. 35,20. Alhamdulillah masih besar, tetapi karna saya dari luar kota (ditinjau dari bengkulu, kan saya awalnya dari bandung) akhirnya saat melamar di SMA-SMA yang ada di kota Bengkulu, nem saya dikurangi 2,50. Jadi, total akhir nem saya itu 32,7.
Tahun ini penerimaan siswa/i SMA di Bengkulu melalui sistem dinas. Bingung ya? jadi gini, setiap yang mau daftar SMA bisa langsung melalui nem tanpa test. Mendaftarnya juga bukan disekolah yang kita mau, tapi langsung ke dinas setempat, melalui online. Dan di online itu ada pilihan sekolah yang kita minati. Minimal 3 sekolah bisa kita pilih. Semua sekolah yang ada di kota bengkulu sudah di data dan diurutkan sesuai dengan kualitas dan kwantitasnya. Katakanlan SMA A berada di poling ter-atas dan SMA B berada tepat dibawahnya. Dari sejak lama sebelum kelulusan, saya sudah sepakat dengan diri saya agar bisa masuk SMA A, meski saya tahu SMA A dan B tidak jauh berbeda kualitasnya. 
Mendaftar sudah, meninggalkan bandungpun sudah terlaksana sebelum mendaftar. Sedih gak? sangat! tapi, sungguh tak ada arti kesedihan meninggalkan Bandung dibanding harus menolak keinginan orang tua :) balik lagi ke awal, ikhtiar udah, tawakkal apalagi, beuh pasrah banget malah. Memohon agar masuk ke SMA A udah tunggang tunggit saya lakukan. Alhamdulillah nem terkecil yang diterima di SMA A adalah 32,8, NYARIS! o,1 selisih dari nilai saya yang sudah dikurangi. Nah, disini saya merasa bahwa mungkin saya melakukan kesalahan sehingga membuat Allah cuek terhadap doa-doa saya. PDKT saya lakukan kembali, berusaha menyalahkan diri agar Allah tak bersalah, itu adalah secuil prinsip hidup yang pernah saya terima saat masih di Daarul Qur'an Bandung. Tapi syukurlah, kepala sekolah SMA A sudah melihat hasil nim murni saya tanpa dikurangi 2,50 tadi. Saya ditawarkan masuk ke SMA A di semester 2 tahun ini (2013-2014) dengan syarat saya harus mengikuti pelajaran selama 1 semester di SMA B. Saya terima!
Kurikulum 2013 membawa kami para siswa SMA untuk melakukan penjurusan di awal tahun kelas 10. SMA saya (SMA B) waktu itu memiliki kapasitas 5 kelas IPA dan 3 Kelas IPS dan 1 kelas Bahasa. Kelas Bahasa akhirnya ditutup, karna dari 200 orang lebih yang minat di bahasa hanya 2 orang saja. Jadi tinggallah 5 kelas IPA dan 4 Kelas IPS. Hasil dari voting kelaspun tak seimbang, harusnya 60% IPA dan 40% IPS tapiiii ini malah 85% IPA dan IPSnya hanya 15%. Maka dari itu dilakukanlah test tulis secara serentak untuk jurusan IPA. Sambil menunggu hasil takdir saya dikelas mana, saya putuskan untuk bersantai bareng teman-teman baru saya :D Selang beberapa hari, pengumuman kelaspun keluar, dapet kabar dari temen bahwasanya saya masuk IPA A, alhamdulillah :) tapiii tidak lama setelah itu teman saya memberi tahu bahwa saya dipanggil oleh TU. " Perasaan saya baru masuk deh, masa langsung nunggak uang bayaran sekolah?" berbagaimacam pikiran dan ketakutan memanggil nama saya-_- maklum lah, anak baru belum sempet belajar eh udah dipanggil TU-_- ini sedikit dialog saya dan bapak TU yang memanggil saya:
Saya : " Ada apa pak? "
Bapak : " Nomor Ayah berapa "
Saya : " 0853xxxxxxx " cemas, kok malah minta nomer papa saya-_-
Bapak : " Nomor ibuknya berapa "
Saya : " 0852xxxxxx . Untuk apa pak? " tambah cemas-_-
Bapak : " Jawab saja! Nomor kamu berapa? "
Saya : " 0853xxxxx" sayapun terdiam.
Bapak : " Nak, mau masuk akselerasi? kelas aksel kekurangan 2 orang siswa, mangkanya kami ambil dari test penjurusan reguler ini. Nilaimu tertinggi! "
Saya  : (terdiam dan tidak percaya. maklumlah saya ini keluaran pesantren, yang dari SMP Negri saja belum tentu bisa jebol test aksel.)" gabisa jawab pak, harus tanya mama dulu "

Singkat cerita mama mengizinkan. Dan saya urung pindah ke SMA A. karena meski SMA A berada di poling ter-atas se-kota bengkulu, tapi yang hanya mempunyai akselerasi cuma SMA B!

Disini saya tdak bermaksud untuk menyombongkan diri. Tapi apabila kita sadari teman-teman, seandainya nim saya saat itu benar menjadi 36,00 dan saat dikurangi 2,50 masih menjadi 33,50 dan saya akhirnya masuk ke SMA A, kesempatan untuk akselerasi itu jauuh ada dipegangan saya. Lumayan kan hemat setahun. 
Baru saya sadari, INI JANJI TUHAN! dulu SMP saya meminta masuk akselerasi tapi saya tinggalkan demi Pesantren Daarul Qur'an Bandung, dan sekarang semuanya terealisasikan, ALHAMDULILLAH!

Percayalah para pembaca yang budiman, Janji Allah itu ADA! :-