Sabtu, 14 Mei 2016

Thank You, Allah !

1.   Lewat  Abang

Pagi itu aku hanya bisa terdiam di depan kamar orangtuaku. Melihat mama yang dengan sabarnya merawat kedua kakakku yang sedang sakit. Sakiitt..ntah apalah nama penyakitnya. Kedua telinganya dipenuhi dengan Belatung yang bersayap. Sepintas mereka berterbangan seperti Laron yang baru keluar setelah hujan. Penuh. Dan menjijikkan. Inga, panggilan untuk kakak perempuanku. Ingaku tak separah yang abang alami. Ia masih bisa berbicara dan lebih terlihat baik ketimbang abang. Tapi tidak dengan abang. Bau busuk keluar dari tubuhnya. Menyengat. Aku heran, kenapa mama begitu tegarnya merawat kedua kakakku yang “sudah seperti itu”. Belatung bersayap yang memenuhi telinga, mulut, hidung abangku dan juga berterbangan disekitar badannya terlihat sangat aneh. Lebih aneh ketika aku melihat Belatung-belatung itu tak ada satupun yang mencoba mendekati mamaku. Mama wanita yang hebat.
Sorenya, Ingaku mengajak aku dan mama untuk membeli sesuatu ke Pasar. Dengan terpapah-papah mama membawa inga dan aku mengikutinya dari belakang. Ya Tuhan, begitu hebat Kau men-desain hati wanita ini. Sabar, tangguh, ikhlas Kau tanam pada jiwanya. Pada nuraninya.
Sepulang dari pasar, seorang Bapak menghampiri kami dan berkata “Abang sudah pergi”. Seketika aku menjerit dan ingaku menangis dalam pelukan mama. Mamaku terdiam. Aku berlari menuju pemakaman dan aku melihat abang terbaring lemah diatas makamnya. Melihat dagingnya meleleh, putih, masak. Aku ingin menjerit Ya Allah ! Kupeluk tubuhnya dalam limangan darah yang mengalir dari daging-dagingnya yang sudah mulai masak. Memutih. Layaknya daging ikan yang baru habis digoreng. Abang menjerit. “Adis ini sakit !”. Aku menangis sejadi jadinya. “Adis tolong Abang ! Adis selesaikan hafalannya ! tolong Abang !” menjerit, sambil memegang bahuku lalu menggoyang-goyangkannya dan menatapku dengan binar matanya yang sudah “hangus”. Merah padam, bak api kompor tahun 90an.
“Demi Allah ! aku harus Hafidzah !” kecamku pada diri ini. Menangisku sejadi-jadinya. Terus menangis....hingga aku tersadar dan menemukan badanku ada diatas tempat tidur masih dengan seragam sekolah yang komplit terkecuali sepasang sepatu. Kulihat jam, ternyata sudah jam 2 malam. Astaghfirullah, eh alhamdulillah ini hanya mimpi. Seragamku sudah basah dengan air mata. Ternyata sedihku berlanjut ke dunia nyata. Duduk diam sendirian di dalam kamar, aku menangis, lagi. Perlahan jariku menggeser-geser layar HP mencari nomor Abang. Jam 2 malam, Aku menelfonnya. Tak ada jawaban. Tentu saja, waktunya istirahat.
Beberapa bulan belakangan ini, sungguh, bimbang akan pilihan antara melanjutkan ke perkuliahan atau mengabdi kembali untuk menghafal Qur’an di Pesantren kerap kali menghantuiku. Di satu sisi aku tak merasa rugi jika memilih untuk menghafal, karna Allah memberikanku kelas Aksel saat SMA. Toh, masih ada satu tahun lagi jika ingin “menunggu” teman yang lain yang masih di kelas tiga. Tapi di sisi lain, terbesit keinginan untuk kuliah, ingin seperti teman-teman seperjuangan di Aksel yang sudah menggemgam beberapa Universitas di tangannya.
Harusnya dari dulu aku sadar, bahwa satu tahun “sisa” masa SMAku itu, Allah beri lagi kesempatanku untuk menghafal. Karna yakin, Aksel yang kujalani selama dua tahun itu adalah hadiah dari Allah, seperti yang pernah kutulis pada blog ini sebelumnya  “Jadi Jangan Suudzon Dulu Yaa..”
Karna suatu hal yang membuatku menghentikan kegiatan menghafalku dulu saat SMP di Pesantren, lagi-lagi aku harus mengakuinya, ini adalah cara Allah mengatur sedemikian indah perjalanan hidup hambaNya. Lewat Abang, lewat mimpi itu, lewat teriakan-teriakan yang terlintas pada mimpi itu, dan beberapa kejadian sebelumnya atau sesudahnya yang baru sekarang aku menyadari bahwa itu adalah tanda yang Allah kirim agar aku kembali menghafal.
Kira-kira seminggu setelah mimpi menyapa tidurku, kuberanikan diri berkata pada mama “Adis belum mau kuliah, mau ngelanjutin hafalan dulu, Ma. Boleh?” dan mama menjawab dengan melirikku sambil terus fokus mengendarai mobil, “emang bisa?”. Kulihat mama dari kursi penumpang tepat sebelah kiri sang supir dan, “InshaaAllah Ma” jawabku, (sepertinya) dengan yakin.
Lewat Abang, Allah sisipkan pesan tegasNya untukku.




2.  Ah GBK...
 “Bisa dateng gak Met? Dateng ya dateeng. Ada imam dari Makkah loh Met”
suara dari ujung telpon itu membuatku berani memohon izin pada mama. Datang dalam acara yang paling ditunggu tunggu penghafal Qur’an, “Wisuda Akbar Indonesia”. Seperti biasa, ketika melontorkan perizinin, awalnya diserbu pertanyaan yang dikit demi sedikit terdengar seperti larangan. Tapi kemabali lagi, mana ada orang tua yang tahan dengan rayuan maut putrinya. Sebelum merayu tak henti-henti shalawat berlantun di bibir ini. Ya gitu, kalo mau sesuatu biasanya kulicinkan rencanaku dengan shalawat, manjur dah.
            Akhirnya di acc pergi. Alhamdulillah.
            Pijakanku terhenti sejenak, melihat bangunan besar itu berdiri kokoh melingkari lapangan hijau nan luas. Ramai. Bus-bus besar dari berbagai kota berbaris parkir mengantar ribuan penghafal Qur’an hari itu. Lirikku tak habis ke kanan dan ke kiri, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, berjalan kesana kemari mendekap kumpulan firman Yang Maha Suci. Firman yang suci, dalam kitab yang suci pula. Tak ketinggalan mereka yang mencari nafkah untuk keluarga tercinta, berteret membuka payung-payung besar di sepanjang jalan. Menawarkan minum, tisu, juga cemilan-cemilan ringan pada setiap orang yang melalui payungnya. Ah tak ada salahnya aku duduk sebentar menunggu yang ditungggu datang sambil meneguk beberapa tetes air dingin di siang yang begitu menyengat kulit. Biasalah Jakarta. Padahal Bengkulu juga panas. Gaya emang.
Berhenti pandanganku pada gadis berkerudung merah jambu, berlari dari kejauhan, dan Handphoneku bergetar. “Met udah dimana ?”katanya dari seberang telfon sana. “ini aku dibelakang dirimu” sahutku. Aku sudah menduga, gadis berkerudung merah jambu itu mencariku. “Aku ga ada tiket masuk loh” cemasku. “Gampanglah, bisa seludupan” katanya. Dan benar saja, hari itu aku duduk manis di sektor 24. Haduh ketahuan juga seludupannya. Jangan ditiru lah ya. Ah GBK, kau punya seribu cerita.
            Menikamti acara para pengahafal Qur’an. Hingga tak sadarku hari mulai kelam. Sedang rinduku masih terang benderang. Meski acara terus berlanjut hingga larut, tapi mereka akan segera pulang. Aku harus menemui ustadnya.
            “Ustad, ini ada titipan Mama, semoga suka”. Jam dinding yang terukir gambar bunga Rafflesia Arnoldi itu menjadi saksi pembicaraanku dan Ustad malam itu. Ditengah rombongan dari Daarul Qur’an Bandung, almamater SMPku dulu, aku dan Ustad larut dalam pembicaraan tentang “menghafal”.
            “Saat kita mendahulukan Allah, maka Allah pasti mendahulukan kita juga. Pilihlah Allah, agar Allah pun memilih kita. Kejarlah cinta Allah, kejarlah ridha Allah, agar Allah senantiasa menjaga kita. Sebenernya pilihan setelah lulus sekolah ini ada ditangan Metti. Saya hanya bisa memberikan saran.” Bijaknya Ustad tak pernah kuragukan. Ustad Ustadzahku, inginku sisipkan ucapan terimakasih pada tulisanku ini. Yang aku tahu, tak akan selesai kutuliskan mesti kuku-kuku jemariku mulai meleleh. Sungguh mentari yang menghangatkan tapi tak membakar. Menerangkan tapi tak sampai membutakan. Melecut semangatku untuk setia bersama Al-Qur’an.
“Mumpung masih ada satu tahun lagi, terus sholat tahajud juga istikharah minta petunjuk Allah. Karna dari saya pribadi menyarankan Metti agar menghafal lagi.”
“apa Ustad yakin aku bisa?”
“Apa yang tidak bisa ketika Allah sudah berkehendak ?”
Lagi-lagi Ustad berhasil membuat aku kicep.
            Semua sudah ditempatnya masing-masing. Mereka sudah sampai di Bandung dari malam itu juga, dan aku sudah di kelasku lagi. Setelah izin dua hari, aku harus menyusul beberapa bab mata pelajaran yang sudah tertinggal. Perlahan kepalaku mulai berdenyut saat dalam satu hari ternyata aku harus memahami rumus-rumus gerak relatifitas, sistem  imun, integral-integral yang indah.
Oh Tuhan, aku selalu berharap agar cahayaMu menyusup relung terdalam hati yang Kau ciptakan pada jiwaku. Ditengah ramai kelasku ini, acapku rasa sendiri. Bukan karna mereka acuh padaku, tapi mungkin aku yang acuh padaMu.
3.   Malam Berkhayal
Hari ini aku  menerima hasil kelulusan sekolah. Tepat dihari ulang tahunku yang ke 17. Kata memanglah representasi perasaan. Hari ini mungkin akan ada banyak kata terlontar dari mulut yang mengungkap isi hati. Biasalah anak muda, biasanya nyari tanggal cantik buat jadian. Hhe. 15/05/2015. Lima belas Mei dua ribu limabelas. Ah pikiranku loncat pada dua tahun yang lalu.
2013, di tangga Gazebo Putri.  
“ 2 tahun lagi aku bakal sweet seventeen Bun. Aku pengeen di 17 tahun aku ntar, selesai hafalan. Setelah itu berangkat umroh deh. Tanggal bagus loh Bun waktu aku 17 tahun ntar. Limabelas, lima, limabelas. Bagus ya Bun ? biasanya orang make tanggal bagus buat jadian, aku mah mau khatam Qur’an aja deh Bun, hehe. Juga ya Bun, umur 17 itu biasanya pada bikin big party gitu Bun acara ulang tahunnya, sweet seventeen cenah. Aku sih pengennya tasyakuran khatam Qur’an aja. Gimana Bun? Biar aku yang ngasih kado ke orang tua pas ulang tahun. Kan anti mainstream Bun ya ? aku juga belum pernah keluar negri Bun, pengen kalo tasyakuran hafalan sama ulang tahunnya nanti di Mekah.
Oh iya, atau nanti juga buat acara khataman gitu pas ulang tahun. Nanti kita sewa ball room hotel trus ntar kita buat ruangannya di bagi jadi beberapa bagian. Nanti ada khusus Ustadz Ustadzah dari sini, terus bagian yang lain ada yg khusus buat temen-temen sekolah aku, bagian yang lainnya juga khusus buat keluarga. Nanti kita undang semacem orang-orang training yang bisa ngasih motivasi sukses dunia akhirat gitu Bun? Gimana Bun, keren gak ? itu semua diadainnya di Bengkulu Bun, biar Bunda-bunda sama Ustad-ustad disini juga bisa liat Bengkulu.”
Purnama malam itu menemani hangatnya perbincanganku dengan Ustadzah yang biasa kusapa, Bunda. Ah manusia, hanya bisa merencanakan. Kembali lagi, Allah lah yang mengatur segala urusan. Bunda begitu antusiasnya mendengar mimpi-mimpiku yang lebih mmm...seperti khayalan. Hingga hampir menetes air kebahagiaan dari mataku membayangkan semuanya hari itu. Betapa tidak, mimpiku terlalu tinggi. Tapi selagi Allah yang menjadi Tuhan, aku terus menggantukankan harapan itu padaNya.
Hingga, suatu hari, yakni hari ini, aku kecewa. Kecewa pada khayalku dulu. Kecewa pada tingginya hal yang kugantungkan. Kecewa tak ada satupun dari beberapa rencanaku yang terlaksanakan. Tak khatam juga umroh. Umroh, ntah dari kapan aku sudah memimpikannnya, menyebut-nyebut selalu di sela do’a. Bolehkah aku kesal Tuhan ? tapi aku terlalu kerdil untuk menyampaikan kekesalanku pada hal bodoh yang pernah terlintas dikepala ini. Berkhayal terlalu tinggi.
Seperti ditampar. Aku hari ini harus sadar. Life must go on. Syukuri apa yang udah Allah kasih. Meski aku meminta khatam dan umroh tak kesampean. Tapi setidaknya surat tanda bahwa aku lulus SMA sudah di tangan. Oh iya jangan lupa, Allah tak luput mengganti Mekah dengan tiket lain, Japan.
“Tapi aku maunya khatam sama umroh ya Allah”
“Met, Bersyukur ! “ Allah.
4.   “Met, Bersyukur !” Allah.
“Emang bisa?”
Kulihat mama dari kursi penumpang tepat sebelah kiri sang supir dan,
 “InshaaAllah Ma” jawabku, (sepertinya) dengan yakin.
Pertanyaan mama dalam dua kata itu membuatku seperti tertampar. Aku bersyukur Allah kirimkan serpihan surganya seorang wanita tangguh untuk merawatku seperti mama.  Mamaku tak begitu keras, tapi bisa menjadi sangat tegas. Juga tak begitu lembut, tapi bisa sangat peduli. Tak  jarang aku dimanja mama, pipiku dicium, daguku digigit, buayannya yang selalu mengatakan akulah anak gadisnya yang tercantik di dunia, padahal aku tau saat itu seperti apa badanku. Hitam, kecil, gigi ompong, keriting. Namun mama berani melepas anak-anaknya merantau jauh.
            Perlahan aku kembali pada prinsipku untuk selalu berhusnudzon kepada Allah. Ini membantu. Percayalah. Memperbaiki cara berfikirmu dan takdir hidup yang sedang kujalani. Selalu timbul dalam kepalaku, mengapa Allah memberiku Japan ? mengapa kelulusan harus tepat dihari ulang tahunku, padahal jauh hari sebelum itu diumumkan bahwa pengumuman kelulusan akan berlangsung 17 Mei 2015. Allah menggerakkannya. Pasti Allah. Mempercepat pengumumannya menjadi limabelas, lima, limabelas.
            Pikirku tak begitu panjang. Apalah aku, seorang remaja yang sedang mencoba mencari siapa sebenernya aku, hanya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyerbu kepala ini denga jawaban klise. Kenapa kelulusan harus di limabelas lima limabelas? Yang sebenernya aku inginkan adalah hari itu aku khatam Qur’an. Hatiku menjawab, bagaimana bisa aku khatam sedang aku tidak menghafal ? sehari hari aku disibukkan dengan kerumunan soal yang entah bagaimana sambil mengerjakannya aku selalu terbayang kata-kata guru “besok dikumpulin”. Tak kupikirkan jam berapa, berapa lama aku harus tidur, makan, istirahat, terserahlah yang penting tugasku selesai. Entah berapa bungkus kopi yang sudah menemaniku setiap malam. Jadi inilah yang Allah beri atas segala yang telah kulakukan, Lulus. Alhamdulillah.
            Kenapa Japan? Mungkin rohaniku belum siap untuk berkunjung ke baitullah. “Momentnya kurang tepat. Kan kamu pas SMA yang dikejar kegigihan dalam memperjuangkan ‘nilai’. Nah Aku kirimkan ke Japan agar kau senantiasa belajar dari orang-orang Japan ini bagaimana mereka menghargai waktu, menghargai pekerjaannya, juga cara dalam memanusiakan manusia” gitu kali ya kurang lebih pesan Allah ke diri ini.
            Ah Allah, berkali-kali Kau buat aku jatuh cinta padaMu. Seandainya aku tahu apa yang Kau rencanakan untuk hidupku sebelum aku berkeras pada rencanaku sendiri, mungkin suburlah bulu mataku terbasahi airnya.
            Syukurku yang tak terhingga. Ucapan terimakasih ingin ku lontar pada setiap insan yang Allah kirimkan untuk membantu aku menghafal kembali. Nnamun apalah dayaku yang saat ini dikejar waktu, deadline yang aku buat sendiri. Mungkin suatu saat blog ini akan menggoreskan nama-nama mereka yang sungguh-sungguh ikhlas membantu. Allahlah yang akan membalas semua kebaikan Ibu, Bapak, Ustad, Ustadzah, Kakak, Adik semua.
 Satu tahun setelah aku lulus, aku memilih mendekatkann diri pada Allah, lebih dekat, lewat surat cintaNya pada setiap hamba. Aku menghafal kembali. Satu tahun.
Ya Allah, betapa rinduku membuncah padaMu. Hari itu, Kau buktikan padaku kuasaMu. Kamis, 5 Mei 2016M, 27 Rajab 1437H sesekali bibir ini terbata karna air mata yang memaksa menetes di depan Bunda Jannah dan Mama juga kelompok tahfidzku yang menyaksikan diri yang bukan apa apa ini menyelesaikan surat At-Tahrim. Surat terakhir hafalanku.
“wamaryamabnata ‘imroonallati ahshonat farjahaa fanafakhnaa fiihii mirruuhina wasoddaqot bikalimaati robbihaa wakutubihii wakaanat minal qoonitiin”
Dan para pembaca yang Allah muliakan. Maafkan tak banyak kisah yang bisa kubagiakan saat ini. Terlalu memakan waktu untuk menulisnya, sedang saat ini waktu telah mengejarku untuk bersiap-siap berangkat Umroh nanti malam. Mohon doa agar Allah beri keselamatan pergi hingga pulang.
15 Mei 2016. 1 tahun Allah pending permintaanku. Bukan tidak dikabulkan, namun Allah tau waktu terbaik yang telah Ia tentukan.
Berdoalah ! jangan takut berkhayal dan bermimpi setinggi langit, selagi Allah tempat kita bergantung. Allah yang menyuruh berdoa.  Dan 3 jawaban dari Allah untuk doamu.
“Iya”
“Kita tunggu waktu terbaik”
“akan Kugantikan dengan yang lebih baik dari apa yang kau pinta”