1. Lewat Abang
Pagi itu aku hanya bisa terdiam di depan kamar orangtuaku. Melihat mama
yang dengan sabarnya merawat kedua kakakku yang sedang sakit. Sakiitt..ntah
apalah nama penyakitnya. Kedua telinganya dipenuhi dengan Belatung yang
bersayap. Sepintas mereka berterbangan seperti Laron yang baru keluar setelah
hujan. Penuh. Dan menjijikkan. Inga, panggilan untuk kakak perempuanku. Ingaku tak
separah yang abang alami. Ia masih bisa berbicara dan lebih terlihat baik
ketimbang abang. Tapi tidak dengan abang. Bau busuk keluar dari tubuhnya.
Menyengat. Aku heran, kenapa mama begitu tegarnya merawat kedua kakakku yang
“sudah seperti itu”. Belatung bersayap yang memenuhi telinga, mulut, hidung abangku
dan juga berterbangan disekitar badannya terlihat sangat aneh. Lebih aneh
ketika aku melihat Belatung-belatung itu tak ada satupun yang mencoba mendekati
mamaku. Mama wanita yang hebat.
Sorenya, Ingaku mengajak aku dan mama untuk membeli sesuatu ke Pasar.
Dengan terpapah-papah mama membawa inga dan aku mengikutinya dari belakang. Ya
Tuhan, begitu hebat Kau men-desain hati
wanita ini. Sabar, tangguh, ikhlas Kau tanam pada jiwanya. Pada nuraninya.
Sepulang dari pasar, seorang Bapak menghampiri kami dan berkata “Abang
sudah pergi”. Seketika aku menjerit dan ingaku menangis dalam pelukan mama.
Mamaku terdiam. Aku berlari menuju pemakaman dan aku melihat abang terbaring
lemah diatas makamnya. Melihat dagingnya meleleh, putih, masak. Aku ingin
menjerit Ya Allah ! Kupeluk tubuhnya dalam limangan darah yang mengalir dari
daging-dagingnya yang sudah mulai masak. Memutih. Layaknya daging ikan yang
baru habis digoreng. Abang menjerit. “Adis ini sakit !”. Aku menangis sejadi
jadinya. “Adis tolong Abang ! Adis selesaikan hafalannya ! tolong Abang !”
menjerit, sambil memegang bahuku lalu menggoyang-goyangkannya dan menatapku
dengan binar matanya yang sudah “hangus”. Merah padam, bak api kompor tahun
90an.
“Demi Allah ! aku harus Hafidzah !” kecamku pada diri ini. Menangisku
sejadi-jadinya. Terus menangis....hingga aku tersadar dan menemukan badanku ada
diatas tempat tidur masih dengan seragam sekolah yang komplit terkecuali
sepasang sepatu. Kulihat jam, ternyata sudah jam 2 malam. Astaghfirullah, eh
alhamdulillah ini hanya mimpi. Seragamku sudah basah dengan air mata. Ternyata
sedihku berlanjut ke dunia nyata. Duduk diam sendirian di dalam kamar, aku
menangis, lagi. Perlahan jariku menggeser-geser layar HP mencari nomor Abang.
Jam 2 malam, Aku menelfonnya. Tak ada jawaban. Tentu saja, waktunya istirahat.
Beberapa bulan belakangan ini, sungguh, bimbang akan pilihan antara
melanjutkan ke perkuliahan atau mengabdi kembali untuk menghafal Qur’an di
Pesantren kerap kali menghantuiku. Di satu sisi aku tak merasa rugi jika
memilih untuk menghafal, karna Allah memberikanku kelas Aksel saat SMA. Toh,
masih ada satu tahun lagi jika ingin “menunggu” teman yang lain yang masih di
kelas tiga. Tapi di sisi lain, terbesit keinginan untuk kuliah, ingin seperti
teman-teman seperjuangan di Aksel yang sudah menggemgam beberapa Universitas di
tangannya.
Harusnya dari dulu aku sadar, bahwa satu tahun “sisa” masa SMAku itu, Allah
beri lagi kesempatanku untuk menghafal. Karna yakin, Aksel yang kujalani selama
dua tahun itu adalah hadiah dari Allah, seperti yang pernah kutulis pada blog
ini sebelumnya “Jadi Jangan Suudzon Dulu
Yaa..”
Karna suatu hal yang membuatku
menghentikan kegiatan menghafalku dulu saat SMP di Pesantren, lagi-lagi aku
harus mengakuinya, ini adalah cara Allah mengatur sedemikian indah perjalanan
hidup hambaNya. Lewat Abang, lewat mimpi itu, lewat teriakan-teriakan yang
terlintas pada mimpi itu, dan beberapa kejadian sebelumnya atau sesudahnya yang
baru sekarang aku menyadari bahwa itu adalah tanda yang Allah kirim agar aku
kembali menghafal.
Kira-kira seminggu setelah mimpi menyapa tidurku, kuberanikan diri berkata
pada mama “Adis belum mau kuliah, mau ngelanjutin hafalan dulu, Ma. Boleh?” dan
mama menjawab dengan melirikku sambil terus fokus mengendarai mobil, “emang
bisa?”. Kulihat mama dari kursi penumpang tepat sebelah kiri sang supir dan,
“InshaaAllah Ma” jawabku, (sepertinya) dengan yakin.
Lewat Abang, Allah sisipkan pesan tegasNya untukku.
2.
Ah GBK...
“Bisa dateng gak Met? Dateng ya dateeng. Ada
imam dari Makkah loh Met”
suara dari ujung telpon itu
membuatku berani memohon izin pada mama. Datang dalam acara yang paling
ditunggu tunggu penghafal Qur’an, “Wisuda Akbar Indonesia”. Seperti biasa,
ketika melontorkan perizinin, awalnya diserbu pertanyaan yang dikit demi
sedikit terdengar seperti larangan. Tapi kemabali lagi, mana ada orang tua yang
tahan dengan rayuan maut putrinya. Sebelum merayu tak henti-henti shalawat
berlantun di bibir ini. Ya gitu, kalo mau sesuatu biasanya kulicinkan rencanaku
dengan shalawat, manjur dah.
Akhirnya di acc
pergi. Alhamdulillah.
Pijakanku terhenti sejenak, melihat bangunan besar itu
berdiri kokoh melingkari lapangan hijau nan luas. Ramai. Bus-bus besar dari
berbagai kota berbaris parkir mengantar ribuan penghafal Qur’an hari itu.
Lirikku tak habis ke kanan dan ke kiri, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa,
berjalan kesana kemari mendekap kumpulan firman Yang Maha Suci. Firman yang suci,
dalam kitab yang suci pula. Tak ketinggalan mereka yang mencari nafkah untuk
keluarga tercinta, berteret membuka payung-payung besar di sepanjang jalan.
Menawarkan minum, tisu, juga cemilan-cemilan ringan pada setiap orang yang
melalui payungnya. Ah tak ada salahnya aku duduk sebentar menunggu yang
ditungggu datang sambil meneguk beberapa tetes air dingin di siang yang begitu
menyengat kulit. Biasalah Jakarta. Padahal Bengkulu juga panas. Gaya emang.
Berhenti
pandanganku pada gadis berkerudung merah jambu, berlari dari kejauhan, dan Handphoneku bergetar. “Met udah dimana
?”katanya dari seberang telfon sana. “ini aku dibelakang dirimu” sahutku. Aku
sudah menduga, gadis berkerudung merah jambu itu mencariku. “Aku ga ada tiket
masuk loh” cemasku. “Gampanglah, bisa seludupan” katanya. Dan benar saja, hari
itu aku duduk manis di sektor 24. Haduh ketahuan juga seludupannya. Jangan
ditiru lah ya. Ah GBK, kau punya seribu cerita.
Menikamti acara para pengahafal Qur’an. Hingga tak
sadarku hari mulai kelam. Sedang rinduku masih terang benderang. Meski acara
terus berlanjut hingga larut, tapi mereka akan segera pulang. Aku harus menemui
ustadnya.
“Ustad, ini ada titipan Mama, semoga suka”. Jam dinding
yang terukir gambar bunga Rafflesia
Arnoldi itu menjadi saksi pembicaraanku dan Ustad malam itu. Ditengah
rombongan dari Daarul Qur’an Bandung, almamater SMPku dulu, aku dan Ustad larut
dalam pembicaraan tentang “menghafal”.
“Saat kita mendahulukan Allah, maka Allah pasti
mendahulukan kita juga. Pilihlah Allah, agar Allah pun memilih kita. Kejarlah
cinta Allah, kejarlah ridha Allah, agar Allah senantiasa menjaga kita.
Sebenernya pilihan setelah lulus sekolah ini ada ditangan Metti. Saya hanya
bisa memberikan saran.” Bijaknya Ustad tak pernah kuragukan. Ustad Ustadzahku,
inginku sisipkan ucapan terimakasih pada tulisanku ini. Yang aku tahu, tak akan
selesai kutuliskan mesti kuku-kuku jemariku mulai meleleh. Sungguh mentari yang
menghangatkan tapi tak membakar. Menerangkan tapi tak sampai membutakan.
Melecut semangatku untuk setia bersama Al-Qur’an.
“Mumpung masih ada satu tahun
lagi, terus sholat tahajud juga istikharah minta petunjuk Allah. Karna dari
saya pribadi menyarankan Metti agar menghafal lagi.”
“apa Ustad yakin aku bisa?”
“Apa yang tidak bisa ketika
Allah sudah berkehendak ?”
Lagi-lagi Ustad berhasil
membuat aku kicep.
Semua sudah ditempatnya masing-masing. Mereka sudah
sampai di Bandung dari malam itu juga, dan aku sudah di kelasku lagi. Setelah
izin dua hari, aku harus menyusul beberapa bab mata pelajaran yang sudah
tertinggal. Perlahan kepalaku mulai berdenyut saat dalam satu hari ternyata aku
harus memahami rumus-rumus gerak relatifitas, sistem imun, integral-integral yang indah.
Oh Tuhan, aku
selalu berharap agar cahayaMu menyusup relung terdalam hati yang Kau ciptakan
pada jiwaku. Ditengah ramai kelasku ini, acapku rasa sendiri. Bukan karna
mereka acuh padaku, tapi mungkin aku yang acuh padaMu.
3. Malam Berkhayal
Hari ini aku menerima hasil
kelulusan sekolah. Tepat dihari ulang tahunku yang ke 17. Kata memanglah
representasi perasaan. Hari ini mungkin akan ada banyak kata terlontar dari
mulut yang mengungkap isi hati. Biasalah anak muda, biasanya nyari tanggal cantik
buat jadian. Hhe. 15/05/2015. Lima belas Mei dua ribu limabelas. Ah pikiranku
loncat pada dua tahun yang lalu.
2013, di tangga Gazebo Putri.
“ 2 tahun lagi aku bakal sweet seventeen Bun. Aku pengeen di 17 tahun aku
ntar, selesai hafalan. Setelah itu berangkat umroh deh. Tanggal bagus loh Bun
waktu aku 17 tahun ntar. Limabelas, lima, limabelas. Bagus ya Bun ? biasanya
orang make tanggal bagus buat jadian, aku mah mau khatam Qur’an aja deh Bun,
hehe. Juga ya Bun, umur 17 itu biasanya pada bikin big party gitu Bun acara ulang tahunnya, sweet seventeen cenah. Aku sih pengennya tasyakuran
khatam Qur’an aja. Gimana Bun? Biar aku yang ngasih kado ke orang tua pas ulang
tahun. Kan anti mainstream Bun ya ?
aku juga belum pernah keluar negri Bun, pengen kalo tasyakuran hafalan sama
ulang tahunnya nanti di Mekah.
Oh iya, atau nanti juga buat acara khataman gitu pas ulang tahun. Nanti
kita sewa ball room hotel trus ntar
kita buat ruangannya di bagi jadi beberapa bagian. Nanti ada khusus Ustadz
Ustadzah dari sini, terus bagian yang lain ada yg khusus buat temen-temen
sekolah aku, bagian yang lainnya juga khusus buat keluarga. Nanti kita undang
semacem orang-orang training yang bisa ngasih motivasi sukses dunia akhirat
gitu Bun? Gimana Bun, keren gak ? itu semua diadainnya di Bengkulu Bun, biar
Bunda-bunda sama Ustad-ustad disini juga bisa liat Bengkulu.”
Purnama malam itu menemani hangatnya perbincanganku dengan Ustadzah yang
biasa kusapa, Bunda. Ah manusia, hanya bisa merencanakan. Kembali lagi, Allah
lah yang mengatur segala urusan. Bunda begitu antusiasnya mendengar
mimpi-mimpiku yang lebih mmm...seperti khayalan. Hingga hampir menetes air
kebahagiaan dari mataku membayangkan semuanya hari itu. Betapa tidak, mimpiku
terlalu tinggi. Tapi selagi Allah yang menjadi Tuhan, aku terus menggantukankan
harapan itu padaNya.
Hingga, suatu hari, yakni hari ini, aku kecewa. Kecewa pada khayalku dulu.
Kecewa pada tingginya hal yang kugantungkan. Kecewa tak ada satupun dari
beberapa rencanaku yang terlaksanakan. Tak khatam juga umroh. Umroh, ntah dari
kapan aku sudah memimpikannnya, menyebut-nyebut selalu di sela do’a. Bolehkah
aku kesal Tuhan ? tapi aku terlalu kerdil untuk menyampaikan kekesalanku pada hal
bodoh yang pernah terlintas dikepala ini. Berkhayal terlalu tinggi.
Seperti ditampar. Aku hari ini harus sadar. Life must go on. Syukuri apa yang udah Allah kasih. Meski aku
meminta khatam dan umroh tak kesampean.
Tapi setidaknya surat tanda bahwa aku lulus SMA sudah di tangan. Oh iya jangan
lupa, Allah tak luput mengganti Mekah dengan tiket lain, Japan.
“Tapi aku maunya khatam sama umroh ya Allah”
“Met, Bersyukur ! “ Allah.
4.
“Met, Bersyukur !” Allah.
“Emang bisa?”
Kulihat mama dari kursi penumpang tepat sebelah kiri sang
supir dan,
“InshaaAllah Ma”
jawabku, (sepertinya) dengan yakin.
Pertanyaan mama dalam dua kata
itu membuatku seperti tertampar. Aku bersyukur Allah kirimkan serpihan surganya
seorang wanita tangguh untuk merawatku seperti mama. Mamaku tak begitu keras, tapi bisa menjadi
sangat tegas. Juga tak begitu lembut, tapi bisa sangat peduli. Tak jarang aku dimanja mama, pipiku dicium,
daguku digigit, buayannya yang selalu mengatakan akulah anak gadisnya yang
tercantik di dunia, padahal aku tau saat itu seperti apa badanku. Hitam, kecil,
gigi ompong, keriting. Namun mama berani melepas anak-anaknya merantau jauh.
Perlahan aku kembali pada prinsipku untuk selalu
berhusnudzon kepada Allah. Ini membantu. Percayalah. Memperbaiki cara
berfikirmu dan takdir hidup yang sedang kujalani. Selalu timbul dalam kepalaku,
mengapa Allah memberiku Japan ? mengapa kelulusan harus tepat dihari ulang
tahunku, padahal jauh hari sebelum itu diumumkan bahwa pengumuman kelulusan
akan berlangsung 17 Mei 2015. Allah menggerakkannya. Pasti Allah. Mempercepat
pengumumannya menjadi limabelas, lima, limabelas.
Pikirku tak begitu panjang. Apalah aku, seorang remaja
yang sedang mencoba mencari siapa sebenernya aku, hanya mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang menyerbu kepala ini denga jawaban klise. Kenapa kelulusan harus di
limabelas lima limabelas? Yang sebenernya aku inginkan adalah hari itu aku
khatam Qur’an. Hatiku menjawab, bagaimana bisa aku khatam sedang aku tidak
menghafal ? sehari hari aku disibukkan dengan kerumunan soal yang entah
bagaimana sambil mengerjakannya aku selalu terbayang kata-kata guru “besok
dikumpulin”. Tak kupikirkan jam berapa, berapa lama aku harus tidur, makan,
istirahat, terserahlah yang penting tugasku selesai. Entah berapa bungkus kopi
yang sudah menemaniku setiap malam. Jadi inilah yang Allah beri atas segala
yang telah kulakukan, Lulus. Alhamdulillah.
Kenapa Japan? Mungkin rohaniku belum siap untuk
berkunjung ke baitullah. “Momentnya kurang tepat. Kan kamu pas SMA yang dikejar
kegigihan dalam memperjuangkan ‘nilai’. Nah Aku kirimkan ke Japan agar kau
senantiasa belajar dari orang-orang Japan ini bagaimana mereka menghargai
waktu, menghargai pekerjaannya, juga cara dalam memanusiakan manusia” gitu kali
ya kurang lebih pesan Allah ke diri ini.
Ah Allah, berkali-kali Kau buat aku jatuh cinta padaMu. Seandainya
aku tahu apa yang Kau rencanakan untuk hidupku sebelum aku berkeras pada
rencanaku sendiri, mungkin suburlah bulu mataku terbasahi airnya.
Syukurku yang tak terhingga. Ucapan terimakasih ingin ku
lontar pada setiap insan yang Allah kirimkan untuk membantu aku menghafal
kembali. Nnamun apalah dayaku yang saat ini dikejar waktu, deadline yang aku buat sendiri. Mungkin suatu saat blog ini akan
menggoreskan nama-nama mereka yang sungguh-sungguh ikhlas membantu. Allahlah
yang akan membalas semua kebaikan Ibu, Bapak, Ustad, Ustadzah, Kakak, Adik
semua.
Satu tahun setelah aku lulus, aku memilih
mendekatkann diri pada Allah, lebih dekat, lewat surat cintaNya pada setiap
hamba. Aku menghafal kembali. Satu tahun.
Ya Allah,
betapa rinduku membuncah padaMu. Hari itu, Kau buktikan padaku kuasaMu. Kamis,
5 Mei 2016M, 27 Rajab 1437H sesekali bibir ini terbata karna air mata yang
memaksa menetes di depan Bunda Jannah dan Mama juga kelompok tahfidzku yang
menyaksikan diri yang bukan apa apa ini menyelesaikan surat At-Tahrim. Surat terakhir
hafalanku.
“wamaryamabnata
‘imroonallati ahshonat farjahaa fanafakhnaa fiihii mirruuhina wasoddaqot
bikalimaati robbihaa wakutubihii wakaanat minal qoonitiin”
Dan para
pembaca yang Allah muliakan. Maafkan tak banyak kisah yang bisa kubagiakan saat
ini. Terlalu memakan waktu untuk menulisnya, sedang saat ini waktu telah
mengejarku untuk bersiap-siap berangkat Umroh nanti malam. Mohon doa agar Allah
beri keselamatan pergi hingga pulang.
15 Mei 2016. 1
tahun Allah pending permintaanku. Bukan
tidak dikabulkan, namun Allah tau waktu terbaik yang telah Ia tentukan.
Berdoalah !
jangan takut berkhayal dan bermimpi setinggi langit, selagi Allah tempat kita
bergantung. Allah yang menyuruh berdoa. Dan
3 jawaban dari Allah untuk doamu.
“Iya”
“Kita tunggu
waktu terbaik”
“akan
Kugantikan dengan yang lebih baik dari apa yang kau pinta”